Tragedi Kapal Gambela dan Cita-Cita Reformasi Penyelenggaraan Ibadah Haji
Pada masa Orde lama pemerintah banyak memberikan kelonggaran dan keleluasaan kepada pihak swasta untuk aktif berperan dalam pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji namun pada masanya rezim orde baru berkuasa terjadi beberapa perubahan regulasi yang dianggap keras dan radikal diantaranya kebijakan pemerintah melalui Keputusan Presidium Kabinet No 27/U/IN/5/1967, dengan lahirnya keputusan tersebut secara resmi pemerintah mengambil alih seluruh kewenangan penyelenggaraan ibadah haji yang sebelumnya sebagian porsinya diberikan kepada pihak swasta.
Poin - poin keputusan tersebut diatas secara tegas melarang badan atau yayasan untuk menyelenggarakan urusan haji tanpa legalisasi dari Menteri Utama Bidang Kesra atau pejabat yang ditunjuk. Keputusan yang kemudian dikuatkan dengan terbitnya surat keputusan Menteri Agama tertanggal 19 Agustus 1968.
SK Menteri Agama tersebut menegaskan dua hal penting antara lain :
Pertama : Masalah haji adalah tugas nasional guna menjaga martabat atau nama baik bangsa dalam pandangan dunia internasional.
Kedua : Keikutsertaan pihak swasta dalam urusan haji dibatasi pada bidang pengangkutan, baik melalui laut maupun udara dengan otoritas keputusan berada di tangan pemerintah.
Walhasil Pemerintah memutuskan mitra pengusaha yang ditunjuk untuk dilibatkan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 1968 tersebut, ketiganya adalah PT Arafat dengan kapal laut, ICA (International Civil Transport Asia) dengan pesawat udara dan Mukersa (Musyawarah Kerja Sama Haji). Setelah berjalan beberapa lama praktek sentralistik pemerintah dalam penyelenggaraan haji mulai menuai masalah, banyak keluhan terhadap fasilitas dan pelayanan yang tidak sesuai standar, bahkan ada kejadian dimana rekanan yang ditunjuk pemerintah batal memberangkatkan jamaah haji dikarenakan kurangnya persiapan. Puncaknya pemerintah menerbitkan Kepres No. 22 Tahun 1969 dengan maksud memperluas kewenangannya dalam penyelenggaraan urusan haji. Dengan berlakunya Kepres tersebut maka keseluruhan penyelenggaraan urusan haji hanya bisa dilaksanakan oleh pemerintah.
Masyumi dan Ikhtiar “HUSAMI”
Monopoli Haji oleh Pemerintah menuai pro dan kontra, penolakan atas monopoli dan sentralistik pemerintah kerap disuarakan oleh Keluarga Besar Masyumi yang dengan lantang menyerukan reformasi penyelenggaraan haji menyusul terjadinya berbagai kasus dan insiden haji mulai dari terlantarnya jamaah di arab saudi, pembatalan keberangkatan dengan pemberlakuan jadwal tunggu, minimnya pelayanan kesehatan hingga masalah katering dan pemondokan.
Mr Syafruddin Prawiranegara yang dikenal memiliki kecakapan dalam bidang pengelolaan keuangan mendapatkan amanat dari keluarga besar Masyumi untuk mempelopori penyelenggaraan ibadah haji yang lebih murah dan lebih professional sehingga akhirnya dibentuklah sebuah wadah bernama Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia (HUSAMI), Husamipun kemudian berhasil mengkoordinir keberangkatan dan pemulangan 712 jamaah haji.
Keberhasilan HUSAMI dalam mengkoordinir keberangkatan jamaah haji tidak terlepas dari peran penting tokoh-tokoh dibelakang HUSAMI yang dinilai amanah dan konsisten dalam memperjuangkan aspirasi umat. Disisi lain lompatan husami ini menjadi pukulan telak bagi pemerintah, walhasil 712 Jamaah haji husami oleh pemerintah dianggap illegal serta mendapatkan perlakuan yang sangat diskriminatif.
Sumber :
1. Rintisan tulisan “Menuai Hikmah dari Peristiwa Gambela”, http://www.voy.com/212414/29.html
2. Novel Ular Keempat, Gus TF Sakai
3. Web Masyumi Centre, http://masyumicentre.com/mc/index.php/beranda/pembaca-menulis/258-syafrudin-prawiranegara-dan-cita-cita-reformasi-haji-yang-belum-usai