Ki Ageng Henis Sang Pendakwah Agung dan Pewarna Sejarah di Tanah Jawa

Makam-Kyai-Ageng-Henis
Makam-Kyai-Ageng-Henis

Dari Glagah Wangi Babak Baru Sejarah Tanah Jawa dimulai. 

Setelah era majapahit berakhir maka trah keturunan majapahit mulai bangkit salah satunya dengan mendirikan sebuah kesultanan baru bernama "Demak Bintoro" di bumi glagah wangi, Dari Glagah Wangi inilah Babak Baru Sejarah Tanah Jawa dimulai. 
Dalam Babad Tanah Jawa Majapahit digambarkan berada dalam "Senja Kala", dirundung banyak kegaduhan yang diwarnai dengan perang saudara dan perebutan tahta. Kejatuhan Majapahit tidak terhindarkan yang diabadikan dalam candrasangakala "Sirna Ilang Kertaning Bumi".
Berakhirnya kekuasaan Majapahit menjadi momentum bagi kerajaan-kerajaan bawahan untuk tampil dan mendaulatkan diri.  Setelah menakar besarnya potensi, support dari beberapa adipati dan dukungan penuh para wali maka Raden Patah sang putra Brawijaya kemudian mendeklarasikan berdirinya "Demak Bintara" sebagai Kesultanan Islam Pertama di Tanah Jawa. 

Jejak Awal Pergerakan Kaum Santri

Naiknya Raden Patah sebagai Sultan Demak bergelar Sultan Syah Alam Akbar Al Fattah Sayyidin Panatagama merupakan jejak awal pergerakan kaum santri dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara. 
Raden Patah merupakan salah seorang santri perguruan Ampeldenta, masih banyak murid-murid yang lainnya dari kalangan bangsawan dan kerabat kerajaan yang menjadi santri Sunan Ampel. Kaum santri inilah yang menjadi motor penggerak perubahan pada masa masa selanjutnya.

Sunan Kalijaga juga memiliki banyak santri dan pengikut dari kalangan pejabat, background beliau sebagai putra adipati memiliki magnet tersendiri, diantara santri dan murid Sunan Kalijaga ada beberapa nama yang banyak diperbincangkan diantaranya ialah Jaka Tingkir dan Ki Ageng Henis. Jaka Tingkir alias Mas Karebet pada episode berikutnya berhasil menjadi penguasa di kesultanan Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya sementara Ki Ageng Henis menjadi penasehatnya.

Ki Ageng Henis Sang Pendakwah Agung

Ki Ageng Henis adalah Sang Pendakwah Agung yang mempunyai kecakapan dalam ilmu agama, sosial politik dan tata pemerintahan. Kemampuan spiritualnya sangat mendalam sehingga dengan segala kompetensinya tersebut tanpa ragu Sultan Hadiwijaya menunjuk dan mempercayainya sebagai penasehat utama. Nasehat dan pertimbangan yang diberikan Kyai Ageng Henis diyakini dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang tengah dihadapi Pajang. 
Kyai Ageng Henis menjadi salah seorang abdi kinasih negeri Pajang yang setia, sehingga lantaran komitmen dan dedikasinya itu, Sultan Hadiwijaya alias Mas Karebet alias Jaka Tingkir suatu ketika menghadiahkan kepadanya sebuah tanah perdikan di Laweyan.

Sepenggal Kisah Jaka tingkir, Santri Kyai Ageng Selo dan Murid Sunan Kalijaga.

Jaka Tingkir atau kemudian dikenal sebagai Sultan Hadiwijaya banyak dikisahkan sebagai murid Sunan Kalijaga, tidak banyak yang menceritakan jejaknya sebagai salah satu santri perguruan Selo yang dipimpin oleh Kyai Ageng Selo.
Sebagai santri dari Ki Ageng Selo dan murid Kanjeng Sunan Kalijaga maka Jaka Tingkir atau Hadiwijaya senantiasa siap sedia untuk mensupport perjuangan dakwah dan pengajaran kepada masyarakat di wilayahnya. 

Ki Ageng Henis, Enis atau Ngenis tentu saja bukan orang lain bagi Jaka Tingkir,  pada saat Ki Ageng Selo atas dorongan gurunya Sunan Kalijaga mendirikan pesantren di Selo maka Jaka Tingkir termasuk salah seorang santri padepokan selo tersebut.
Di pesantren selo selain mendalami ilmu agama, beberapa ilmu olah kanuragan juga diajarkan. Menurut cerita tutur dari para sesepuh di desa Pengging dan Tingkir bahwa Ki Ageng Selo masih memiliki darah/trah Raja Majapahit sehingga dipercaya mewarisi ilmu-ilmu kanuragan tua yang sudah mulai langka. Semasa mudanya Ki Ageng Selo adalah pendekar pilih tanding yang terkenal sebagai sang penangkap petir.
Singkat kata di padepokan selo itulah terjalin interaksi awal dan kedekatan diantara Jaka Tingkir dengan putra Ki Ageng Selo yang bernama Henis/Ngenis.

Ki Ageng Henis, Penasehat Spiritual Sultan Hadiwijaya yang Handal.

Ki Ageng Henis tercatat di beberapa referensi sejarah sebagai kyai keraton dan penasehat spritual Sultan Hadiwijaya di Kadipaten Pajang.
Diantara Henis dan Hadiwijaya memang dikisahkan sangat dekat, keduanya adalah saudara seperguruan dan seperjuangan di padepokan Selo. Di padepokan tersebut Jaka Tingkir kemudian bersahabat dengan putra  dan keponakan Kyai Ageng Henis yaitu Ki Pemanahan dan Ki Panjawi. 
Pada Saat Kanjeng Sunan Kalijaga mendapat tanah perdikan dari Sultan Demak di sebuah daerah bernama Kadilangu, maka Jaka Tingkir dan kedua sahabatnya itu ikut terlibat membantu sang kanjeng guru mendirikan perguruan dan menimba ilmu disana untuk beberapa waktu lamanya.

Tatkala Jaka Tingkir jumeneng Adipati di Pajang bergelar Hadiwijaya maka semakin besar dukungannya kepada Kyai Ageng Henis dalam mengemban amanah dakwah di Wilayah Pajang dan sekitarnya. hingga pada akhirnya Sultan Hadiwijaya berkenan memberikan tanah perdikan di sebuah kampung yang saat itu bernama Laweyan. 

Dakwah Kyai Ageng Henis di Kampung Laweyan.

Pada periode awal Dakwah Kyai Ageng Henis di Kampung Laweyan, saat itu mayoritas penduduknya masih beragama Hindu Jawa. Ki Ageng Henis yang secara kepribadian dikenal cakap, santun dan mudah bergaul dengan siapapun dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat. Keberadaan Kyai Henis di Laweyan memiliki pengaruh yang besar, beliau dianggap memiliki linuwih atau kelebihan sehingga sering menjadi tempat orang belajar, bertanya atau meminta nasehat dan tausyiah.

Ki Ageng Henis juga menjalin komunikasi dengan sejumlah tokoh dan tetua adat setempat termasuk dengan pemuka agama yang bernama Ki Ageng Beluk yang merupakan penganut Hindu Jawa. 

Ki Ageng Beluk yang merupakan Pemimpin Hindu Jawa di Laweyan mempunyai Pura yang didirikannya secara swadaya di pinggir kali kabanaran, keduanya kemudian sering terlibat dalam diskusi dan bertukar pikiran seputar permasalahan yang dihadapi masyarakat laweyan sampai pada akhirnya Ki Ageng Beluk menyatakan tertarik untuk memeluk Agama Islam dan menyerahkan bangunan Pura miliknya untuk digunakan dan kelola oleh Kiai Ageng Henis.

Awal Mula Berdirinya Masjid Laweyan Yang Bersejarah.

Berdirinya Masjid Laweyan yang bersejarah merupakan salah satu jejak perjalanan Kyai Ageng Henis dalam membina masyarakat dan membangun peradaban. Serah terima bangunan Pura dari Ki Belukan kepada Ki Ageng Henis merupakan tonggak perubahan bagi Kampung dan Masyarakat Laweyan.  

masjid-laweyan-oleh-kyai-ageng-henis-1546
masjid-laweyan-oleh-kyai-ageng-henis-1546

Bangunan Pura kemudian dirombak dan diperbaharui oleh Kyai Ageng Henis bersama masyarakat sekitarnya. Setelah jadi kemudian dialih fungsikan menjadi Masjid pada tahun 1546 dan merupakan Masjid yang pertama di Kerajaan Pajang.

masjid-laweyan-didirikan-oleh-kyai-ageng-henis-tahun-1546
masjid-laweyan-didirikan-oleh-kyai-ageng-henis-tahun-1546

Masjid Laweyan, Masjid Bersejarah sebagai Pusat Penyebaran Agama Islam di Pajang dan Solo Raya.

Masjid Laweyan di tangan Kyai Ageng Henis dan Ki Ageng Beluk kemudian menjadi pusat penyebaran agama Islam di wilayah Solo Raya, banyak aktifitas dakwah dan kemasyarakatan yang dilaksanakan di Masjid bersejarah itu. Berkat tutur tinular akhirnya banyak orang yang datang dari luar pajang demi ingin berguru dan menjadi santri dari Kyai Ageng Henis. 
Semakin hari semakin bertambah banyak jumlah santri sehingga kemudian didirikanlah sebuah padepokan di tempat itu, konon padepokan tidak pernah berhenti menanak nasi di pawonan untuk konsumsi para santri sehingga seringkali nampak keluar asap mengepul dari dapur padepokan sehingga tempat tersebut kemudian diberi julukan sebagai Kampung Belukan (beluk = asap).

Desa Laweyan sendiri sesungguhnya sudah ada sebelum munculnya Pemerintahan Pajang namun baru berarti setelah Ki Ageng Henis bermukim di daerah tersebut. 
Ki Ageng Henis seperti uraian diatas berhasil merevitalisasi masjid di Laweyan pada tahun 1546, dan jejak peninggalannya tersebut hingga kini masih berfungsi dengan baik. 

Astana Laweyan, Cagar Budaya Tempat Kyai Ageng Henis dimakamkan.

makam-kyai-ageng-henis-di-pesarean-laweyan
makam-kyai-ageng-henis-di-pesarean-laweyan

Kampung Laweyan sudah menjadi bagian dari perjalanan hidup Ki Ageng Henis, Setelah wafat beliau dimakamkan Di Astana Laweyan yang saat ini menjadi salah satu cagar budaya di Surakarta.
Di Pasarean Laweyan atau Astana Laweyan tersebut juga dimakamkan beberapa kerabat dekat Kyai Ageng Henis. Makam Kyai Ageng Henis berada pada cungkup utama diapit oleh Makam Nyai Ageng Pandanarang dan Makam Nyai Ageng Pati yang merupakan istri dari Ki Panjawi. Di bawah cungkup utama terdapat makam Nyai Ageng Saba, kakak Ki Ageng Henis yang merupakan Ibu dari Ki Juru Martani.

Adanya peninggalan sejarah berupa masjid dan pasarean merupakan indikasi bahwa Laweyan merupakan salah satu wilayah yang penting di Pajang.

Ki Ageng Henis dan Sejarah Kampung Batik Laweyan.

Nama Ki Ageng Henis tidak bisa dipisahkan dari sejarah Kampung Batik Laweyan.
Kyai Ageng Henis yang menjadi ulama dan petinggi Pajang sangat menaruh perhatian yang besar terhadap potensi batik yang berkembang di daaerah itu. 
Keberadaan kawasan Laweyan sebenarnya telah ada jauh sebelum lahir Kerajaan Pajang atau ada pada masa pemerintahan Demak, saat itu kawasan tersebut telah dikenal sebagai pasar lawe dan benang serta tenun. 
Kyai Ageng Henis terlibat aktif dalam mengajarkan seni dan keterampilan membatik kepada para santri di padepokan Laweyan. 
Santri yang kemudian kembali ke tengah-tengah masyarakat juga ikut berperan dalam mengembangkan seni dan keterampilan membatik. 
Sejak itulah batik semakin digiatkan dan kawasan kampung laweyan tumbuh berkembang menjadi sentra perkampungan batik dan menjadi salah satu penghasil batik yang terbaik.

Kyai Ageng Henis kemudian dijuluki sebagai Ki Ageng Laweyan, sepeninggalnya, Lurah Laweyan kemudian dijabat oleh anaknya, Ki Ageng Pemanahan dan seorang keponakannya, Ki Panjawi.

Keturunan Ki Ageng Henis Mewarnai Sejarah Tanah Jawa.

Babad Tanah Jawa mengisahkan bahwa sepeninggal Arya Penangsang, Sultan Hadiwijaya menepati janjinya untuk memberikan hadiah tanah perdikan kepada para pemenang sayembara yang telah berhasil membantunya mengalahkan adipati jipang panolan yang terkenal sakti mandraguna tersebut. Ki Juru Martani yang dikenal sebagai ahli siasat yang cerdik diminta oleh Pamandanya Ki Ageng Henis untuk membantu mengatur strategi agar sayembara dapat membuahkan hasil dan menjadi bagian dari solusi dalam mengakhiri prahara yang selama ini menyelimuti Demak dan Pajang.

Keterlibatan Tiga Serangkai Ki Pemanahan, Ki Panjawi dan Ki Juru Martani dalam Sayembara

Keterlibatan Tiga Serangkai Pajang yaitu Ki Pemanahan, Ki Panjawi dan Ki Juru Martani dalam Sayembara untuk menghadapi Arya Penangsang menjadi salah satu peristiwa yang bersejarah.
Ki Juru Martani segera mengatur strategi dan menyiapkan Ki Pemanahan dan Ki Panjawi untuk mengikuti sayembara, strategi berikutnya adalah dengan mengikutsertakan Putra Ki Pamanahan yang juga anak angkat Adipati Hadiwijaya sebagai satria piningit yang secara khusus ditugasi untuk menunggang seekor kuda betina berwarna putih yang sudah dipersiapkan. Posisi Sutawijaya yang sama sekali bukan lawan yang diperhitungkan oleh Arya Penangsang justru akan berbalik menguntungkan. Hadiwijaya jelas tidak akan rela membiarkan putra angkatnya menjadi incaran dan bulan-bulanan Arya Penangsang dan pasukan jipang sehingga secara diam-diam Sultan Hadiwijaya akan mempersiapkan pasukan Pajang yang terbaik untuk membela dan melindungi Sutawijaya.
Perang antara pasukan Pajang yang dipimpin Ki Pemanahan dengan pihak Arya Penangsang berlangsung dengan sengit di dekat Bengawan Sore. Kuda perang Arya Penangsang yang bernama Gagak Rimang seketika menjadi tidak terkendali begitu Sutawijaya dengan menunggang kuda betina berwarna putih masuk ke palagan bengawan sore, Gagak Rimang yang sedang birahi menjadi kian tak terkendali sehingga Arya Penangsang sempat terhempas jatuh dan situasi tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Sutawijaya untuk menghunjamkan pusaka andalannya tombak kyai pleret, tombak pusaka tersebut mengenai lambung Arya Penangsang yang membuat usus adipati jipang tersebut terburai keluar, Arya Penangsang segera melilitkan ususnya yang terburai ke rangka keris pusakanya dan dengan gagah perkasa melanjutkan bertarung menghadapi pasukan pajang dan Sutawijaya.
Dalam kondisi terluka Arya Penangsang berhasil membuat Sutawijaya yang memang bukan tandingannya terdesak dan begitu adipati jipang tersebut menghunus keris pusakanya untuk menghabisi Sutawijaya tanpa disadari pusaka tersebut memotong ususnya sendiri dan membuatnya tersungkur jatuh dan meninggal dunia. 
Sepeninggal Arya Penangsang kemudian Ki Juru Martani menyampaikan berita kepada Adipati Hadiwijaya bahwa Arya Penangsang tewas terbunuh ditangan Ki Pemanahan dan Ki Panjawi. Ki Juru Martani khawatir apabila yang disampaikan adalah berita yang sebenarnya maka Hadiwijaya akan batal memberikan hadiah sayembara tersebut mengingat Sutawijaya adalah anak angkatnya.
Sultan Hadiwijaya memberikan hadiah berupa tanah perdikan di Mataram dan Pati. Ki Pamanahan yang merasa lebih tua mengalah memilih Mataram yang masih berupa hutan lebat, sedangkan Ki Penjawi mandapat daerah Pati yang saat itu sudah berwujud kota. Bumi Mataram adalah bekas kerajaan kuno yang runtuh tahun 929. Seiring berjalannya waktu, daerah ini semakin sepi sampai akhirnya tertutup hutan lebat. Masyarakat menyebut hutan yang menutupi Mataram dengan nama Alas Mentaok.

Sutawijaya, Anak Angkat Sultan Hadiwijaya yang Menjadi Raja Mataram Dengan Gelar Panembahan Senopati.

Sutawijaya yang juga memiliki nama Raden Ngabehi Loring Pasar sejak kecil sudah menjadi anak angkat Sultan Hadiwijaya, kelak ketika menjadi Raja Mataram ia bergelar Panembahan Senopati.
Nama Sutawijaya bisa diartikan sebagai anak Hadiwijaya, Sultan Pajang. Sebagai anak angkat sejak kecil Sutawijaya sudah berada di dalam lingkungan Kesultanan Pajang. Sebagai anak angkat Sultan, Sutawijaya banyak mendapatkan gemblengan baik lahir maupun batin. Sutawijaya mendapatkan pelajaran ilmu kanuragan jaya kawijayan dari ayahandanya Ki Pemanahan yang terkenal sebagai lurahing tamtama yang digdaya dan ayah angkatnya Jaka Tingkir yang mempunyai linuwih ajian lembu sekilan. Ilmu tata praja dan tata negara diberikan oleh ahlinya yaitu Ki Juru Martani, sedangkan Ilmu diplomasi kenegaraan diajarkan oleh pamandanya Ki Ageng Panjawi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika kemudian Sutawijaya tumbuh menjelma menjadi pribadi yang paripurna.
Pada saat Ki Gede Pemanahan memenangkan sayembara dan mendapatkan hadiah dari Sultan Hadiwijaya berupa Alas Mentaok maka Sutawijaya meminta ijin untuk mengikuti ayahnya.
Alas Mentaok kemudian berkembang dan menjadi cikal bakal bumi Mataram Kotagedhe. Mentaok berarti dimen taberi olah kawruh.  Sepeninggal Ki Ageng Pemanahan kemudian Sutawijaya  dikukuhkan oleh Sultan Hadiwijaya untuk menggantikan  kekuasaan ayahnya di Mataram.
Pada beberapa tahun kemudian Sutawijaya diangkat menggantikan Sultan Hadiwijaya atas restu Kanjeng Sunan Prapen yang saat itu mewarisi tahta ayahnya Sunan Giri menjadi penguasa Kerajaan Islam Giri Kedaton. Pengangkatan Sutawijaya merupakan sebuah kebijaksanaan yang diambil dalam rangka kompromi dan rekonsialiasi antara trah Pajang dan keturunan Sultan Demak Bintara.
Sutawijaya kemudian memindahkan pusat kekuasaan ke Mataram dan menjadi Raja dengan Gelar Panembahan Senopati.

Ki Pemanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi adalah The Three Musketeer atau Tiga Serangkai Pewarna Sejarah Mataram.

Dalam Perjalanan Mataram Islam Tiga Serangkai Ki Gede Pamanahan, Ki Ageng Panjawi dan Ki Juru Martani merupakan tiga orang tokoh sentral yang sangat fenomenal, ketiganya sering disebut sebagai tiga tokoh dari sela, tiga serangkai dan three musketeers Pewarna Sejarah Mataram. 
Tiga serangkai Mataram tersebut merupakan anak, keponakan dan menantu Ki Ageng Henis. Ketiganya merupakan murid Sunan Kalijaga dan menjadi sahabat Jaka Tingkir yang selalu setia mendampinginya dalam menjalankan roda pemerintahan Pajang. Bersama Sultan Hadiwijaya bakat dan kemampuan mereka dalam pemerintahan semakin terasah sehingga pada waktunya mereka sukses mengantarkan cucu Kyai Ageng Henis yaitu Sutawijaya menjadi Raja Mataram yang pertama (1567 - 1601). 
Sutawijaya tidak menggunakan gelar Sultan karena penghormatannya kepada Pangeran Benowo yang merupakan penerus yang sah Sultan Hadiwijaya, Sutawijaya bergelar Panembahan senopati Ing Alaga Khalifatullah Sayyidin Panatagama. Gelar Khalifatullah Sayyidin Penatagama ini juga diberikan pada raja-raja Mataram sesudahnya bahkan pada kerajaan-kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta.
Gelar Khalifatullah Sayyidin Penatagama merupakan sebuah implementasi konsep dwifungsi kekuasaan bahwa penguasa adalah pemimpin pemerintahan sekaligus sebagai pemuka agama bagi kaumnya. 
Dalam catatan ini Kyai Ageng Henis dengan kader-kader terbaik yang diasuh dan dibimbingnya telah berhasil memainkan perannya dalam dinamika politik dan pemerintahan pada zamannya. Diakui atau tidak Ki Ageng Henis merupakan sosok pendakwah agung dan pewarna sejarah di tanah Jawa.

Sumber : Wikipedia, Ki Ageng Henis, Sutawijaya dan Sejarah Baru Mataram
(Sebuah Catatan Oleh maslumajang Untuk GoviralZone/History)
Next Post Previous Post
11 Comments
  • Resep Kiki
    Resep Kiki 28 August, 2021 06:10

    Wah aku baru tahu sejarah mengenai Ki Ageng Henis. Terima kasih ya kak infonya

    • aditya k
      aditya k 03 September, 2021 13:27

      henis alias enis atau ngenis
      menarik membaca kisahnya

    • Goviral Zone
      Goviral Zone 19 September, 2021 09:13

      Terimakasih sudah berkenan mampir ke goviralzone.
      Ki Ageng Henis memang sosok yang selama ini jarang dipublish, pilihan hidupnya sebagai pendakwah menjadikannya berjarak dari pusaran politik dan kekuasaan. Pada fase awal pajang, kyai ageng henis pernah didaulat sebagai penasehat oleh sultan hadiwijaya namun selanjutnya beliau memilih tinggal di kampung laweyan dan berdakwah hingga akhir hayatnya.

  • aditya k
    aditya k 03 September, 2021 13:24

    menyimak, ternyata masih keturunan dari majapahit ya

    • Goviral Zone
      Goviral Zone 19 September, 2021 09:20

      Benar mas adit, Kyai Ageng Henis putra adalah putra dari Ki Ageng Selo. Ki Ageng Selo putra dari Ki Getas Pandawa yang merupakan putra dari Raden Bondan Kejawen. Bondan Kejawen tsb merupakan Lembu Peteng Majapahit, putra Brawijaya V dengan garwa selir yang bernama Putri Wandan Kuning.

      Kurang lebihnya demikian, kalau dituturkan akan panjang kisahnya dan ada beberapa versi juga....Salam

  • irfan.nst
    irfan.nst 06 September, 2021 14:41

    yang menarik peran menjadikan laweyan sebagai sentra dan kampung batik

    • Goviral Zone
      Goviral Zone 19 September, 2021 09:23

      Betul, selain berdakwah dan memajukan umat di bidang spiritual keagamaan...sektor ekonomi juga tak kalah pentingnya. Kyai Ageng Henis memberi contoh bagaimana menyeimbangkan diantara keduanya.

      Terimakasih dan Salam

  • radar informasi koperasi
    radar informasi koperasi 15 September, 2021 20:27

    Mantab.. Lanjutkan karya-karya selanjutnya...

    • Goviral Zone
      Goviral Zone 19 September, 2021 09:24

      Terimakasih atas atensi dan supportnya.

      Salam Semangat dan Smoga Sukses Selalu

  • hasan mustofa
    hasan mustofa 18 September, 2021 04:09

    trims atas sharingnya

    • Goviral Zone
      Goviral Zone 19 September, 2021 09:26

      Terimakasih juga mas hasan, jika ada masukan jangan ragu untuk menuliskan di kolom komentar.

      Salam

Add Comment
comment url