Sesudah dipotong makin bercabang (Catatan dibalik Kanigoro Affair 1965)

catatan-dibalik-teror-shubuh-pki-di-kanigoro
Ilustrasi : Teror Shubuh di Kanigoro/Kanigoro Affair 1965


Secarik kertas bertuliskan “Sesudah dipotong makin bercabang” menjadi buah goresan pena yang seringkali diselipkan dari balik dinding tahanan semasa guru bangsa Mohammad Natsir menjalani Karantina Politik di Batu Malang pada tahun 1963. “Sesudah dipotong makin bercabang” boleh jadi adalah kalimat sederhana namun hakikatnya mengandung spirit yang luarbiasa.

Saya pernah membaca Biografi KH Misbach, secara tidak langsung terungkap betapa besarnya pengaruh kalimat sederhana tersebut.

Pada Periode itu para pemimpin ummat banyak yang harus mendiami rumah tahanan yang tersebar di Batu Malang, Ambarawa, atau Wisma Keagungan di Jakarta. Penahanan tersebut ternyata berdampak luarbiasa bagi pergerakan karena setiap gerak-gerik dimata-matai sementara rongrongan PKI terasa kian menguatkan cengkeramannya hingga di pusat kekuasaan.

KH Misbach dan generasi aktivis pergerakan seangkatannya memaknai pesan Buya M Natsir tersebut sebagai momentum untuk tampil kemuka, ditengah umat yang saat itu menjadi sasaran utama agitasi, adu domba dan tindak anarki dari kekuatan merah yang berupaya terus menerus memprovokasi agar umat islam makin “merasa” terpinggirkan dan “terpancing” untuk bergesekan dengan pemerintah sehingga dengan mudah PKI menjadi pemantik api dan meraih keuntungan politik dari peristiwa ini.

Tausyiah Pak Natsir kepada KH Misbach adalah amanat untuk menghimpunkan kader umat yang cerai berai dan kesulitan bergerak lantaran terus-menerus dimata-matai oleh Badan Pusat Intelijen (BPI) yang pro PKI, saat itu ada kebuntuan komunikasi antara Pengurus Masyumi dan GPII dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jogjakarta.
KH Misbach segera merealisasikan konsolidasi dengan kamuflase pernikahan adik Kiai Chumaidi Jombang dengan seorang pemuda GPII asal Jawa Tengah.
Acara dikemas rapi dan pertemuan keluarga pihak mempelai tidak lain adalah para tokoh Masyumi dan GPII sejumlah sekitar 15 orang dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jogjakarta.
Acara inti adalah mendengarkan tausyiah Pak Natsir yang ada di tahanan Batu Malang yang disampaikan oleh KH Misbach antara lain :

  1. Melakukan hubungan yang kompak antara kader umat di Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan membentuk poros Surabaya – Solo
  2. Hubungan yang dilakukan kedua Propinsi Jangan Sampai Putus
  3. Tegakkan selalu yang menjadi kehendak kita yaitu menegakkan Syariat Islam orang seorang, kepada umat, masyarakat maupun terhadap negara RI.
  4. Gunakanlah selalu daya upaya untuk memperkuat silaturrahmi seerat-eratnya
  5. Jangan lupa setiap malam sunyi untuk bertaqorrub kepada Allah.

Sementara itu Serangkaian tindakan anarkisme PKI di Jawa Timur bermuara pada penculikan tokoh masyarakat yang sebagian diantaranya adalah kyai/ulama, pengrusakan sejumlah tempat ibadah dan pelecehan Kitab Suci Al Qur’an sebagaimana teror shubuh di Kanigoro atau dikenal sebagai Tragedi Kanigoro Affair 1965.

“Saat itu ratusan anggota PII (Pelajar Islam Indonesia) dari seluruh daerah di Jawa Timur yang sedang mengikuti Mental Training di Masjid At Taqwa, usai salat subuh tiba-tiba datang segerombolan orang berpakaian hitam-hitam menyerang, mereka adalah aktivis dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) berpakaian hitam-hitam dengan jumlah ribuan orang langsung menyeruak ke dalam masjid membubarkan acara PII tersebut. Pelajar yang berjumlah 120-an orang itupun hanya lunglai getir tak kuasa melawan. Dengan kaki kotor bekas lumpur sawah mereka menginjak-injak masjid, menjarah barang-barang, mengobrak-abrik dokumen-dokumen penting, dan mensobek-sobek al-Qur’an.
Shubuh itu pun segera berubah menjadi pagi kelabu. Dengan sangat keji masa komunis menangkap dan mengikat para pemuda PII. KH. Jauhari – ayahanda Gus Maksum Lirboyo yang saat itu ikut serta juga sempat dipukul dan diludahi. Jerit tangis pun menyeruak seketika dari ruang asrama putri. Orang-orang komunis secara beringas melakukan pelecehan seksual terhadap kader-kader perempuan PII.
Dengan tangan terikat antara satu dengan yang lainnya, mereka digelandang ke kantor kecamatan dan kantor polisi, melewati rute panjang area persawahan. Sepanjang perjalanan, mereka dibombardir dengan teror dan caci maki. Dengan suara memekakkan orang-orang komunis itu berteriak: Inilah antek-antek Nekolim. Inilah antek-antek Masyumi. Ayo bunuh saja! Utang kita di Madiun, utang kita di Jombang, bayar saja sekarang. Mari kita tuntaskan dendam luka lama. Kita habisi saja mereka sekarang!. Jargon Madiun 1948 sesekali mereka teriakkan "Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati". Dan Memang beberapa pelajar sempat mengalami penyiksaan hebat dan bahkan beberapa diantaranya syahid dalam peristiwa tersebut.
(Petikan Kesaksian Bapak Moh. Ibrahim Rais)

Saat peristiwa itu terjadi, PKI telah menguasai seluruh pelosok Kediri, bahkan pejabat pemerintahan, kepolisian, dan tentara dikuasai oleh orang-orang dari partai pimpinan DN Aidit itu, saat itu PKI sedang giat-giatnya memberangus orang-orang Masyumi. Mereka berkeyakinan bahwa PII sebagai underbouw dari Masyumi

Sesudah dipotong makin bercabang membuktikan jatidirinya, Pasca Peristiwa Kanigoro itu para pelajar terus bergerak, kader dan simpatisan masyumi turun serta membackup para pelajar hingga terjadilah Demontrasi besar-besaran Januari 1965 di Kediri dengan sebuah tuntutan Lantang “Bubarkan PKI”

Sesudah di potong makin bercabang juga bermakna ajakan agar kita berkaca dari rangkaian peristiwa diatas betapa kebangkitan itu adalah harga mati diatas momentum untuk meraih kembali vitalitas ummat Islam ditengah kehidupan nyata bermasyarakat, berbangsa dan bernegara…Wallahua’lam

(Repost by GoviralZone/history, Sebuah Catatan oleh Badrut Tamam Gaffas)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url